Candu: Pilar Ekonomi Kolonial di Balik Derita Pribumi

JAKARTA | Priangan.com – Di balik gemerlap kota-kota besar dan kebijakan-kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda, tersimpan sebuah ironi yang menyakitkan. Sebuah komoditas yang dilegalkan justru menjadi sumber penderitaan bagi ribuan rakyat pribumi: candu.
Sejak abad ke-17, candu telah menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah Hindia Belanda. Namun, alih-alih menjadi berkah, candu justru menjadi alat penjajahan yang lebih halus dan mematikan. Pemerintah kolonial melihat candu sebagai sumber pendapatan yang menggiurkan, sementara bagi masyarakat pribumi, candu adalah jalan menuju kehancuran.
Sejarawan Abdul Hakim, dalam bukunya Jakarta Tempo Doeloe (1989), mengutip tulisan J.J. de Vries yang menggambarkan bagaimana kecanduan candu mendorong orang-orang untuk melakukan tindakan kriminal demi mendapatkan uang untuk membeli candu. “Orang-orang yang kecanduan sering kali tidak punya jalan lain untuk membeli candu selain dengan menggarong atau merampok,” tulisnya. Ironisnya, warung-warung candu yang menjadi sumber masalah justru berdiri secara legal dan menjadi sumber pemasukan bagi pemerintah kolonial.
Dampak candu bahkan merambah hingga ke lingkungan militer. Majalah Militaire Gids pada tahun 1913 mencatat bahwa hampir 60 persen bintara pribumi di Jawa adalah pecandu candu. Pada awalnya, candu sengaja dijadikan daya tarik agar orang-orang mau menjadi serdadu. Di barak-barak prajurit, disediakan bilik khusus untuk mengisap candu. Bahkan, istri para prajurit pun terbiasa menggunakannya di kamar-kamar sempit mereka.
Perdagangan candu di Nusantara sebenarnya sudah berlangsung sejak zaman VOC. Pada tahun 1667, VOC bekerja sama dengan Amangkurat II dari Mataram untuk memonopoli opium. Candu tidak hanya digunakan untuk mencari keuntungan, tetapi juga sebagai cara untuk melemahkan semangat rakyat.
Capt. R.P. Suyono, dalam bukunya Seks dan Kekerasan pada Zaman Kolonial (2004), mencatat bahwa perdagangan opium meningkat tajam hanya dalam beberapa dekade. Dari 1.312 pon pada tahun 1659, naik menjadi lebih dari 243 ribu pon pada tahun 1744, atau setara dengan lebih dari 121 ton.
Untuk mengatur peredaran candu, VOC mendirikan Societet van den Amfioem Handel pada tahun 1745, sebuah lembaga resmi yang membeli opium dari Benggala dan menjualnya di Batavia. Sistem saham pun diperkenalkan, membuat para pejabat kolonial ikut menikmati keuntungan besar.
Setelah VOC bubar, pemerintah Hindia Belanda tidak menghentikan bisnis candu. Melalui Nederlandsch Handel Maatschappij (NHM) yang berdiri pada tahun 1824, impor opium tetap berjalan tanpa batasan, hanya diwajibkan membayar pajak. Sistem kemudian dilanjutkan dengan opiumpacht atau lelang, untuk menentukan siapa yang berhak menjadi perantara resmi menjual candu di Jawa dan Madura.
Dominasi perdagangan candu semakin kuat dengan lahirnya kebijakan Opium Regie pada tahun 1893. Pemerintah kolonial mengambil alih penuh pengolahan dan distribusi candu dengan mendirikan pabrik modern. Pabrik besar di Kramat, Batavia, berdiri pada tahun 1901, bahkan dilengkapi rel kereta api khusus untuk mengangkut opium mentah dari pelabuhan.
Pada tahun 1905, keuntungan dari candu mencapai 20 juta gulden atau sekitar 15 persen dari total pendapatan pemerintah kolonial. Pada tahun 1920-an, jumlahnya naik hingga 30 juta gulden, bahkan melebihi keuntungan dari perkebunan kina.
Namun, di balik angka-angka fantastis itu, tersimpan penderitaan yang mendalam. Candu menggerogoti tenaga produktif rakyat, membuat desa-desa jatuh miskin, menumbuhkan kriminalitas, dan merusak ikatan keluarga. Apa yang dianggap sebagai bisnis menguntungkan bagi pemerintah kolonial, sejatinya adalah perangkap tak kasatmata yang menjadikan bumiputra korban dua kali: dijajah secara politik dan ekonomi, sekaligus diperbudak lewat candu.
Candu adalah bukti nyata bagaimana sebuah kebijakan ekonomi dapat menjadi alat penindasan yang efektif. Keuntungan yang diperoleh pemerintah kolonial dari candu dibangun di atas penderitaan dan kehancuran masyarakat pribumi. Warisan kelam ini memberikan pelajaran berharga tentang pentingnya melihat sejarah dari berbagai sudut pandang, serta memahami bagaimana kekuasaan dapat disalahgunakan untuk kepentingan ekonomi semata. (Lsa)

Lain nya

Latest Posts

Most Commented

Featured Videos