SULAWESI UTARA | Priangan.com – Bernard Wilhelm Lapian adalah sosok pejuang kemerdekaan yang lahir di Minahasa, Sulawesi Utara, pada 30 Juni 1892. Sejak usia muda, pria yang akrab disapa BW Lapian itu telah menunjukkan tekad besar untuk membebaskan Indonesia dari cengkeraman kolonialisme baik lewat aksi nyata maupun karya-karya tulisan.
BW Lapian memulai pendidikan formalnya di Europeesche Lagere School (ELS) Amurang, kemudian melanjutkan kursus di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO). Setelah menamatkan pendidikan, ia memutuskan untuk merantau ke Batavia, disini, ia mulai menggeluti dunia jurnalistik. Surat kabar Pangkal Kemadjoean jadi medianya.
Selama berkarier di sana, ada banyak tulisan-tulisannya yang mengandung pesan-pesan nasionalis. Itu karena ia ingin melihat rakyat Indonesia merdeka dan terbebas dari para penjajah.
Pada tahun 1924, BW Lapian kemudian mendirikan surat kabarnya sendiri. Surat kabar itu bernama Fadjar Kemadjoean. Titik fokus utama surat kabar ini adalah pada isu-isu kesejahteraan rakyat dan perjuangan bangsa.
Berlanjut pada tahun 1940, ia mendirikan lagi surat kabar lain, Semangat Hidoep, media ini menjadi wadah penyebaran gagasan perlawanan terhadap propaganda kolonial Belanda di Minahasa. Melalui tulisan-tulisan tajamnya, BW Lapian mengobarkan semangat perjuangan di hati masyarakat Minahasa dan mendorong mereka untuk tidak menyerah pada upaya Belanda yang mencoba mempertahankan kekuasaannya.
Seperti yang telah disampaikan, perjuangan BW Lapian tak hanya ditunjukan lewat jurnalisme, tetapi juga melalui serangkaian aksi nyata dalan hal ini perang terbuka. Pada 14 Februari 1946, misalnya, ia berjuanh lewat peristiwa yang dikenal dengan Peristiwa Merah Putih di Manado.
Pada saat itu, tentarw NICA menangkap prmimpin Pasukan Pemuda Indonesia (PPI) ketika mengukuti rapat rahasia. BW Lapian tak terima. Ia pun melakukan serangan ke markas NICA dan berhasil membebaskan tokoh petinggi PPI tersebut.
Sayang, sebulan berikutnya, BW Lapian ditangkap tentara penjajah. Ia kemudian dipenjara di Cipinang sebelum akhirnya dipj dahkan ke Sukamiskin.
BW Lapian baru dibebaskan setelah Konferensi Meja Bundar digelar. Tak lama setelah kebebasannya, pada 17 Agustus 1950, Presiden Soekarno memberikan BW Lapian jabatan sebagai Gubernur Sulawesi.
Di masa kepemimpinannya ini, BW Lapian fokus pada pengembangan daerah, termasuk membuka lahan pemukiman dan pertanian di Dumoga. Ia juga merintis sejumlah pembangunan infrastruktur vital, seperti jalan penghubung Kotamobagu dengan Molibago, yang memperkuat konektivitas untuk meningkatkan perekonomian di wilayah tersebut.
Atas jasa-jasanya yang luar biasa itu, BW Lapian kemudian menerima penghargaan Bintang Gerilya pada 1958 dan Bintang Mahaputra Pratama pada 1976. Ia tercatat wafat pada 5 April 1977 di Jakarta dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.
Pada 5 November 2015, Presiden Joko Widodo memberikan gelar Pahlawan Nasional sebagai bentuk penghormatan atas dedikasinya. Hingga kini, BW Lapian dikenang sebagai tokoh yang tak hanya mengangkat senjata, tetapi juga menggunakan kata-kata untuk memperjuangkan kemerdekaan dan kesejahteraan bangsa. (ersuwa)