JAKARTA | Priangan.com – Tradisi perpeloncoan atau yang dikenal sebagai hazing, ternyata bukanlah suatu fenomena baru. Di Indonesia, praktik ini sudah ada sejak lama. Perpeloncoan sendiri merupakan sebuah aktivitas merendahkan, menyiksa, atau melakukan penghinaan terhadap seseorang yang ingin masuk kelompok tertentu.
Bila dirunut pada sejarah, tradisi ini sudah berlangsung sejak era Yunani Kuno. Pada zaman itu, perpeloncoan disebut dengan pennalisme, yaitu sebuah ritual penyambutan bagi siswa baru. Ironisnya, dalam penyambutan itu mereka seringali mendapatkan penyiksaan dan penghinaan.
Tujuannya, tentu saja untuk memperjelas hierarki antara anggota baru dan anggota lama. Tradisi ini kemudian diadaptasi oleh berbagai institusi di dunia, termasuk di Indonesia. Misalnya pada zaman pendudukan Belanda di Indonesia. Perpeloncoan kala itu disebut ontgroening.
Ontgroetening, dilakukan untuk merendahkan para siswa yang terdiri dari kalangan pribumi. Tujuannya sama, guna menunjukkan bahwa status sosial bangsa Belanda jauh lebih tinggi ketimbang bangsa pribumi. Seiring berjalannya waktu, tradisi itu pun masih mengakar, buktinya, setelah Indonesia merdeka, tradisi perpeloncoan masih banyak di lakukan.
Misalnya pada masa orde baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto. Kala itu, praktik ini digunakan sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan. Meski mendapat banyak tentangan dari berbagai organisasi pemuda, praktik perpeloncoan di era Soeharto nyatanya tak bisa dihapuskan.
Sampai detik ini, tradisi perpeloncoan masih kerap terjadi di berbagai institusi. Bahkan, tak jarang menelan korban jiwa. Pada pertengahan tahun 2019 lalu, misalnya. Seorang siswa bernama Delwyn Derli dari SMA Taruna Indonesia dilaporkan meninggal karena kasus perpeloncoan di sekolahnya.
Remaja yang kala itu masih berusia 14 tahun, diduga mengalami perpeloncoan oleh kakak kelasnya saat sedang menjalani Masa Orientasi Siswa (MOS). Saat ditemukan, korban dipenuhi oleh luka lebab di sekujur tubuhnya. Ia juga mengalami pendarahan di bagian kepala dan dada.
Hal yang sama terjadi pada tahun 2022 lalu, dimana seorang mahasiswa Politeknik Caltex Riau (PCR) harus meregang nyawa akibat tenggelam di Sungai Kampar, Riau. Kejadian itu bermula saat CAK (19) yang merupakan korban tewas, diminta oleh seniornya mandi di sungai dengan mata tertutup. Sayang seribu sayang, ia malah hanyut terbawa arus sungai dan baru ditemukan lima hari pasca kejadian. (ldy)