TASIKMALAYA | Priangan.com – Laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Republik Indonesia kembali menyeret kinerja pengelolaan keuangan DPRD Kota Tasikmalaya ke sorotan publik. Temuan terbaru menunjukkan adanya kekurangan pembayaran pajak penghasilan (PPh) senilai Rp1.077.924.802 yang seharusnya disetor ke kas negara pada tahun anggaran 2024.
Temuan ini berawal dari pemeriksaan BPK terhadap belanja gaji dan tunjangan pimpinan serta anggota DPRD Kota Tasikmalaya. Hasil audit mengungkap bahwa bendahara pengeluaran DPRD melakukan pemotongan PPh pasal 21 secara final dengan tarif flat 15 persen. Pemotongan itu mengacu pada Pasal 4 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2010, yang memperlakukan pimpinan dan anggota DPRD sebagai pejabat negara.
Namun, ketentuan itu sudah tidak relevan. Direktorat Jenderal Pajak sejak 29 Januari 2021 telah menerbitkan Nota Dinas Nomor ND-22/PJ/PJ.03/2021 yang secara tegas menyatakan pimpinan dan anggota DPRD provinsi maupun kabupaten/kota tidak termasuk kategori pejabat negara. Aturan ini diperkuat dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara, yang menegaskan DPRD bukan bagian dari pejabat negara melainkan pejabat publik daerah.
Dengan status tersebut, seharusnya bendahara DPRD Kota Tasikmalaya memotong pajak penghasilan anggota legislatif menggunakan tarif progresif pribadi, bukan tarif final 15 persen. Kesalahan perhitungan inilah yang mengakibatkan negara kehilangan potensi penerimaan pajak lebih dari Rp1 miliar.
Pengamat Kebijakan Publik Tasikmalaya, Rico Ibrahim, menilai temuan ini bukan persoalan teknis belaka, melainkan bentuk kelalaian yang mencederai akuntabilitas keuangan daerah.
“Ini jelas kelalaian serius. DPRD sebagai lembaga legislatif yang mengawasi anggaran, justru lalai dalam urusan pajak yang menyangkut kewajiban mereka sendiri. Angka Rp1 miliar itu bukan kecil, apalagi di tengah kondisi fiskal daerah yang terbatas,” tegas Rico, Sabtu (20/9/2025).
Rico juga menekankan bahwa temuan BPK harus segera ditindaklanjuti. Menurutnya, pemerintah daerah bersama DPRD tidak bisa sekadar menganggap masalah ini sebagai administrasi. Ada konsekuensi hukum dan etika politik yang harus dipertanggungjawabkan.
“Bendahara memang yang langsung salah hitung, tapi DPRD tidak bisa cuci tangan. Mereka menikmati penghasilan dengan pemotongan pajak lebih ringan dari yang seharusnya. Jika tidak ada langkah koreksi, publik bisa menilai ada unsur kesengajaan,” ujarnya.
BPK merekomendasikan agar bendahara DPRD melakukan perhitungan ulang, menyetor kekurangan pajak ke kas negara, serta melaporkan tindak lanjut secara resmi. Jika rekomendasi ini diabaikan, konsekuensinya tidak hanya administratif, tetapi juga berpotensi berimplikasi hukum.
Temuan ini menambah daftar panjang catatan buram pengelolaan anggaran di DPRD Kota Tasikmalaya. Publik kini menunggu, apakah lembaga wakil rakyat tersebut berani bersikap terbuka dan segera mengembalikan kekurangan pajak, atau justru memilih diam hingga kasus ini kembali meledak dalam laporan BPK berikutnya. (yna)