WASHINGTON D.C | Priangan.com – Sebuah janji tentang uang tunai yang belum cair pernah mengguncang Amerika Serikat pada awal abad ke-20. Delapan tahun setelah Kongres menjanjikan bonus bagi veteran Perang Dunia I, ribuan mantan tentara yang hidup miskin akibat Depresi Besar berbondong-bondong ke Washington, D.C.
Mereka menuntut pembayaran segera atas kompensasi yang sejatinya baru bisa dicairkan pada tahun 1945. Dari janji yang tertunda itu lahirlah pawai besar yang dikenal dengan nama ‘Bonus Army’, sebuah peristiwa yang mempertemukan pahlawan perang dengan gas air mata, tank, dan pasukan negaranya sendiri.
Dilansir dari Thoughtco, janji bonus itu sebenarnya sudah tertuang dalam Undang-Undang Kompensasi yang disahkan pada 1924. Aturan ini memberi para veteran sebuah sertifikat yang nilainya dihitung dari lama masa tugas. Mereka yang pernah bertugas di luar negeri mendapat hitungan 1,25 dolar per hari, sementara yang bertugas di dalam negeri dihitung 1 dolar per hari. Namun sertifikat tersebut hanya bisa dicairkan pada ulang tahun masing-masing veteran di tahun 1945. Pada saat itu, ketentuan ini tidak menimbulkan masalah.
Akan tetapi, ketika krisis ekonomi melanda pada 1929, kondisi berubah drastis. Banyak veteran kehilangan pekerjaan, sulit makan, dan tak sanggup lagi menafkahi keluarga. Keadaan inilah yang mendorong mereka datang ke ibu kota.
Pada Mei 1932, ribuan veteran mendirikan perkemahan darurat di Washington. Kamp terbesar berdiri di Anacostia Flats, daerah rawa di pinggir Sungai Anacostia. Gubuk-gubuk dari papan bekas, seng, dan kardus berdiri rapat di atas tanah berlumpur. Tempat itu kemudian dijuluki ‘Hooverville’ sebagai sindiran terhadap Presiden Herbert Hoover yang dianggap gagal mengatasi krisis. Meski tinggal di bangunan seadanya, para veteran menjaga ketertiban. Mereka mengatur keamanan, membangun sanitasi, dan menggelar parade protes dengan disiplin khas tentara.
Harapan sempat muncul pada 15 Juni 1932, Dewan Perwakilan Rakyat meloloskan rancangan undang-undang untuk mempercepat pembayaran bonus. Namun hanya dua hari kemudian, Senat menolaknya. Kekecewaan berubah menjadi amarah. Ribuan veteran pun turun ke Pennsylvania Avenue menuju Gedung Capitol. Bentrokan dengan polisi tak terhindarkan. Dua veteran dan dua petugas tewas, membuat situasi semakin panas.
Presiden Hoover menilai kerumunan itu mengancam ketertiban. Sehinga pada 28 Juli 1932, ia memerintahkan militer membubarkan kamp. Pasukan di bawah komando Jenderal Douglas MacArthur, dibantu Mayor George S. Patton dan beberapa tank ringan, bergerak menyusuri Pennsylvania Avenue.
Dengan gas air mata, bayonet, dan kuda kavaleri, mereka menggiring para veteran keluar dari kota. Hoover sebenarnya meminta operasi dihentikan pada malam hari, tetapi MacArthur melanjutkan serangan hingga ke kamp utama di Anacostia Flats. Gubuk-gubuk reyot dibakar, puluhan orang terluka, ratusan ditangkap, dan ribuan keluarga tercerai-berai.
Peristiwa itu menimbulkan kecaman luas. Bagi militer, operasi dianggap berhasil. Namun bagi rakyat, pemandangan tank mengejar warga yang tak bersenjata adalah aib besar. Media menuliskan betapa memalukan melihat pemerintah terkuat di dunia mengerahkan senjata perang untuk melawan para veteran yang dulu membela negara. Popularitas Hoover pun terjun bebas. Dalam pemilu November, rakyat memilih Franklin D. Roosevelt dengan suara telak, meski ia sendiri juga tidak mendukung pembayaran bonus saat itu.
Roosevelt, meski menolak ide pencairan dini, mengambil pendekatan yang berbeda. Ketika para veteran kembali berunjuk rasa pada 1933, ia tidak mengusir mereka dengan kekerasan. Ia justru menyediakan makanan dan tempat berkemah yang aman. Selain itu, melalui program New Deal, Roosevelt memberi kesempatan kerja bagi 25.000 veteran di Korps Konservasi Sipil (CCC). Langkah ini tidak menyelesaikan tuntutan mereka, tetapi memberi penghidupan sementara di tengah krisis.
Kemenangan sesungguhnya baru datang pada 1936. Kongres meloloskan Undang-Undang Pembayaran Kompensasi yang mengalokasikan 2 miliar dolar untuk veteran. Roosevelt sempat menolak, tetapi Kongres dengan cepat membatalkan keputusannya. Empat tahun setelah diusir secara paksa, para veteran akhirnya menerima hak yang dijanjikan.
Kenangan pahit Bonus Army meninggalkan jejak panjang. Dari peristiwa itulah pemerintah belajar bahwa negara tidak bisa mengabaikan para prajurit yang sudah berkorban. Pelajaran itu tercermin dalam GI Bill tahun 1944, yang memberikan bantuan pendidikan, perumahan, dan dukungan finansial bagi jutaan veteran Perang Dunia II. Dengan cara itu, Amerika berusaha menebus janji yang dulu diingkari, sekaligus memastikan bahwa pengorbanan para pahlawan tidak dibayar dengan penundaan dan penderitaan. (LSA)

















