OREGON | Priangan.com – Di pedalaman negara bagian Oregon, Amerika Serikat, sebuah pohon pinus tua berdiri dalam diam. Kulit kayunya retak-retak, menyimpan luka yang tak sembuh oleh waktu. Sekilas tak ada yang istimewa dari pepohonan itu. Namun siapa sangka, pada musim semi tahun 1945, tempat itu menjadi saksi bisu dari tragedi yang menggores sejarah Amerika, sebuah ledakan mematikan yang bukan berasal dari kecelakaan biasa, melainkan dari senjata eksperimental yang melintasi lautan ribuan kilometer jauhnya.
Peristiwa itu terjadi pada 5 Mei 1945, di sebuah lereng gunung dekat kota kecil Bly. Pendeta Archie Mitchell bersama istrinya yang tengah hamil lima bulan dan lima anak remaja dari jemaat gerejanya tengah menikmati liburan akhir pekan.
Mereka berencana berpiknik dan memancing di tengah alam terbuka. Saat Mitchell menurunkan rombongan di sebuah jalan logging dan melanjutkan perjalanan dengan mobil, istri dan anak-anak itu berjalan kaki menyusuri hutan menuju Leonard Creek. Di sanalah, mereka menemukan sebuah benda asing, yaitu balon besar tak dikenal yang tampak mencurigakan.
Ketika mereka mendekat, tiba-tiba ledakan keras mengguncang seisi gunung. Dalam sekejap, Elsie Mitchell dan kelima anak itu tewas seketika. Mereka menjadi satu-satunya korban sipil di daratan Amerika akibat serangan langsung musuh selama Perang Dunia Kedua.
Apa yang mereka temukan hari itu bukan sekadar balon. Itu adalah bagian dari proyek rahasia militer Kekaisaran Jepang yang disebut bom balon atau fūsen bakudan. Senjata ini merupakan hasil dari strategi inovatif yang lahir dari keterbatasan.
Pada masa itu, Jepang tidak memiliki pesawat pengebom jarak jauh seperti milik Amerika, maupun cukup kapal induk untuk menyerang langsung ke tanah musuh. Namun, mereka punya satu keunggulan, yaitu pengetahuan tentang angin.
Dua puluh tahun sebelum perang, seorang ilmuwan Jepang bernama Wasaburo Oishi menemukan adanya arus udara kuat di lapisan atas atmosfer yang kini dikenal sebagai aliran jet. Arus ini mengalir dari barat ke timur melintasi Samudra Pasifik.
Oishi membuktikan penemuannya lewat serangkaian eksperimen dengan balon meteorologi. Sayangnya, karena ia memilih menerbitkan laporannya dalam bahasa Esperanto atau bahasa buatan yang jarang digunakan, sehingga penemuan penting ini luput dari perhatian dunia. Namun, militer Jepang melihat potensi besar. Mereka menyusun rencana untuk memanfaatkan arus jet itu sebagai jalur pengiriman senjata, secara diam-diam dan tanpa awak.
Antara akhir 1944 hingga awal 1945, Jepang meluncurkan lebih dari 9.000 balon berisi hidrogen dari wilayah pantai timur Pulau Honshu. Setiap balon memiliki lebar hampir sepuluh meter dan membawa muatan bahan peledak serta bahan pembakar seberat ratusan pon. Sistem otomatis di dalamnya mampu menjaga ketinggian balon selama tiga hari perjalanan melintasi samudra. Begitu mencapai langit Amerika, muatannya dijatuhkan, dan balon akan menghancurkan diri agar tidak bisa dipelajari musuh.
Sekitar 300 balon berhasil mencapai daratan Amerika Utara, menyebar dari Alaska hingga Meksiko, dan bahkan sejauh Texas dan Michigan. Namun, sebagian besar jatuh di daerah terpencil, tidak menimbulkan korban maupun kerusakan berarti.
Meski demikian, kekhawatiran terbesar adalah potensi kebakaran hutan. Ribuan tentara Amerika dikerahkan ke titik-titik rawan di sepanjang kawasan hutan Pasifik, lengkap dengan peralatan pemadam kebakaran. Balon-balon itu sulit ditangkap pesawat tempur karena melayang sangat tinggi dan cepat, sehingga hanya sedikit yang berhasil ditembak jatuh.
Pada mulanya, pihak militer Amerika tidak yakin bahwa balon-balon tersebut berasal dari Jepang. Baru setelah analisis pasir pemberat di balon menunjukkan komposisi mineral khas pantai Jepang, beserta jejak diatom dan organisme laut mikroskopis. Kesimpulan tak terbantahkan pun muncul. Pasir itu ditelusuri hingga ke kota Ichinomiya, tempat dua pabrik hidrogen ditemukan lewat pengintaian udara. Pabrik-pabrik itu segera dihancurkan dalam serangan udara, sekaligus mengakhiri proyek bom balon Jepang secara efektif.
Sementara itu, pihak Jepang menyebarkan klaim bahwa ribuan warga Amerika tewas akibat senjata mereka. Informasi itu disebarkan untuk menjaga semangat pasukan mereka, walau kenyataannya bom-bom itu nyaris tidak menimbulkan dampak nyata.
Pemerintah Amerika pun menanggapi ancaman ini dengan senyap. Mereka memberlakukan sensor ketat terhadap media, agar Jepang tidak tahu apakah proyek tersebut berhasil. Namun setelah tragedi di Oregon, sensor itu akhirnya dicabut. Pemerintah menyadari bahwa menyembunyikan informasi justru bisa membahayakan warga sipil karena mereka tidak menyadari ancaman nyata yang mengintai.
Kini, lokasi ledakan di Leonard Creek telah menjadi tempat peringatan yang sunyi namun bermakna. Di sana, berdiri monumen sederhana dari batu dengan plakat perunggu yang mencantumkan nama-nama keenam korban.
Di dekatnya, pohon pinus ponderosa yang terluka masih berdiri kokoh, menyimpan jejak dari salah satu bab terlupakan dalam sejarah Perang Dunia Kedua, kisah tentang balon yang melayang ribuan kilometer, membawa maut dari langit, dan menyentuh tanah yang semula dianggap aman. (LSA)