TASIKMALAYA | Priangan.com – Polemik kenaikan gaji anggota dewan yang disebut-sebut bisa mencapai Rp230 juta per bulan, ditambah tunjangan rumah Rp50 juta, kembali memicu kritik publik. Kesenjangan itu dinilai semakin tidak masuk akal bila dibandingkan dengan rata-rata penghasilan masyarakat Indonesia yang hanya sekitar Rp6,5 juta per bulan.
Perbandingan tersebut membuat gap antara rakyat dan wakilnya mencapai hampir 200 kali lipat. Padahal di sejumlah negara maju, kesenjangan gaji wakil rakyat dengan masyarakat sipil hanya sekitar tiga kali lipat, seperti yang diterapkan di Australia dan Swedia.
“Di Australia, besaran gaji ditetapkan oleh Remuneration Tribunal, lembaga independen yang beranggotakan akademisi, pengusaha, dan pegawai negeri. Dengan begitu, tidak ada ruang bagi keputusan sewenang-wenang,” ujar Rico Ibrahim, Akademisi Universitas Cipasung.
Menurutnya, sistem serupa juga berlaku di Swedia, di mana Riksdag atau dewan remunerasi menetapkan gaji wakil rakyat secara transparan dan akuntabel. Hal ini berbanding terbalik dengan kondisi di Indonesia yang masih minim keterbukaan.
Rico menilai, masalah gaji dewan di Indonesia bukan sekadar soal angka, tetapi juga menyangkut budaya politik. “Kita masih terjebak dalam budaya feodal yang menempatkan wakil rakyat sebagai elit yang harus dihormati, padahal justru mereka yang seharusnya menghormati rakyat,” tegasnya.
Ia menambahkan, di Australia anggota parlemen bahkan lebih suka menyebut penghasilan mereka sebagai “upah”, bukan “gaji”, sebagai simbol bahwa mereka bekerja untuk rakyat yang memilihnya.
Rico menekankan, penghapusan budaya feodal menjadi langkah penting agar wakil rakyat lebih peka terhadap suasana kebatinan publik yang kini tengah menghadapi kesulitan ekonomi.
“Wakil rakyat harus dikontrol penuh oleh masyarakat, bukan sebaliknya. Kalau budaya feodal terus dipelihara, kesenjangan ini hanya akan memperlebar jurang ketidakadilan,” pungkasnya. (yna)