WASHINTON, D.C | Priangan.com – Pada paruh akhir abad ke-19, masyarakat Amerika Serikat hidup dalam kondisi waktu yang bisa berubah-ubah dari satu kota ke kota lain. Tak ada acuan bersama untuk menentukan waktu. Setiap daerah, menyesuaikan jam mereka dengan posisi matahari. Ketika matahari tepat di atas kepala, misalnya, itu berarti tengah hari walau mungkin di kota sebelah sudah lewat beberapa menit. Dalam kehidupan sehari-hari, hal ini mungkin tidak terlalu menjadi masalah. Namun seiring tumbuhnya industri dan jaringan transportasi, terutama kereta api, kekacauan waktu ini mulai dirasakan secara nyata.
Perkembangan pesat jalur kereta api setelah Perang Saudara membuat kebutuhan akan waktu yang seragam semakin mendesak. Perusahaan-perusahaan kereta yang sebelumnya hanya mengatur jadwal berdasarkan waktu lokal masing-masing kota, harus menghadapi kenyataan bahwa sistem ini tidak lagi bisa dipertahankan.
Situasi ini mendorong langkah besar pada 11 April 1883, ketika para pejabat perusahaan kereta api berkumpul di St. Louis, Missouri. Dalam pertemuan tersebut, lahirlah kesepakatan untuk membagi benua menjadi lima zona waktu: Provinsi, Timur, Tengah, Pegunungan, dan Pasifik.
langkah ini memang bukan sebuah ide yang muncul tiba-tiba. Sejak awal dekade 1870-an, sejumlah ilmuwan sudah mengusulkan pembagian waktu berdasarkan zona. Namun, gagasan-gagasan sebelumnya, termasuk proposal yang hanya membagi Amerika dalam dua zona waktu dengan patokan Washington, D.C. dan New Orleans, dianggap kurang praktis untuk luasnya wilayah bagian barat.
Zona-zona waktu yang baru kemudian disusun berdasarkan empat garis meridian utama, yaitu 75, 90, 105, dan 115 derajat bujur barat. Setelah melalui beberapa kali diskusi, sistem ini kemudian mulai diberlakukan secara nasional pada tanggal 18 November 1883.
Menjelang penerapannya, berbagai surat kabar mulai mengedukasi publik tentang bagaimana waktu akan disesuaikan. Di kota New York, misalnya, masyarakat hanya perlu memundurkan jam mereka sebanyak empat menit.
Walaupun belum dilegalkan oleh pemerintah federal, sinyal waktu dari Observatorium Angkatan Laut di Washington mulai digunakan untuk menyinkronkan jam secara serentak melalui jaringan telegraf. Sejumlah toko jam bahkan menawarkan jasa penyetelan ulang jam secara cuma-cuma sebagai bagian dari promosi.
Respon masyarakat terhadap perubahan ini beragam. Banyak yang menyambut baik, terutama mereka yang rutin melakukan perjalanan jarak jauh. Kini, seseorang bisa bepergian lintas negara bagian tanpa harus terus-menerus menyesuaikan jam tangan. Namun tidak semua pihak menerima perubahan ini tanpa penolakan.
Di Boston, misalnya, sempat terjadi kebingungan hukum karena seorang warga datang ke pengadilan menggunakan waktu standar, sementara jadwal persidangan masih berdasarkan waktu lama. Di Louisville, Kentucky, pemerintah kota bahkan sempat memutuskan untuk kembali ke waktu matahari, dan memajukan jam sebanyak 18 menit. Hasilnya justru menciptakan kebingungan lebih besar karena lembaga keuangan mengikuti waktu standar, sementara sebagian besar bisnis lokal tetap memakai sistem lama.
Seiring waktu, sistem zona waktu ini mulai diterima lebih luas. Pada akhir dekade 1880-an, sebagian besar kota dan perusahaan telah mengadopsinya sepenuhnya. Walau baru diresmikan secara hukum oleh pemerintah federal pada 1918 melalui Undang-Undang Waktu Standar, praktik ini telah menjadi bagian penting dari kehidupan sehari-hari di Amerika.
Keberhasilan Amerika dalam menerapkan zona waktu menjadi rujukan bagi dunia internasional. Negara seperti Inggris dan Prancis, yang luas wilayahnya relatif kecil, memang sudah menerapkan satu waktu nasional. Namun tantangan yang dihadapi Amerika menunjukkan bahwa zona waktu bisa diatur dengan baik bahkan di wilayah seluas benua. Pengalaman ini menjadi dasar dalam Konferensi Meridian Internasional tahun 1884 di Washington, D.C., yang kemudian membentuk sistem zona waktu global yang kita kenal saat ini. (Lsa)