TASIKMALAYA | Priangan.com — Di balik wajah kebijakan publik yang tertuang dalam Peraturan Daerah (Perda), terdapat kerja panjang dan kolektif dari para legislator di Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) DPRD Kabupaten Tasikmalaya.
Pada tahun 2025 ini, badan tersebut mencatat 14 rancangan peraturan daerah (ranperda) yang masuk dalam Program Pembentukan Perda (Propemperda), yang terdiri dari usulan legislatif maupun eksekutif.
Ketua Bapemperda DPRD Kabupaten Tasikmalaya, Jejeng Zainal Muttaqin, menjelaskan bahwa peran Bapemperda bukan sekadar menyusun dokumen hukum, melainkan juga memastikan bahwa setiap regulasi benar-benar berangkat dari kebutuhan riil masyarakat.
“Perda itu bukan hanya formalitas. Ia adalah instrumen penting yang harus relevan, bisa diterapkan, dan berdampak pada kehidupan masyarakat. Maka prosesnya harus matang, partisipatif, dan berbasis kajian,” ungkap Jejen saat ditemui di ruang kerjanya, Selasa (8/7/2025).
Bapemperda periode 2024–2029 terdiri dari 16 orang anggota lintas fraksi. Jejeng Zainal Muttaqin memimpin badan ini, didampingi oleh Arief Arseha sebagai wakil ketua, dan Tatang Kusnandar di posisi sekretaris. Bersama para anggota lainnya, mereka bekerja dalam sistem kolektif untuk merancang, meninjau, dan memutuskan ranperda yang akan dibahas DPRD.
Menurut Jejeng, dari 14 ranperda yang diajukan tahun ini, enam merupakan usulan dari pihak eksekutif, dan delapan berasal dari inisiatif DPRD sendiri. Ranperda dari eksekutif bersifat rutin seperti penyusunan dan perubahan APBD, laporan pertanggungjawaban anggaran, serta perubahan perda tentang PDRT. Beberapa lainnya mencakup RPJMD dan penataan Pasar Singaparna.
Sementara itu, dari delapan usulan DPRD, ada yang sudah masuk ke tahap harmonisasi, ada pula yang belum bisa dilanjutkan. Misalnya, ranperda tentang peta investasi yang dinilai masuk ke ranah kewenangan eksekutif, dan ranperda perlindungan koperasi yang dianggap masih cukup tercover oleh regulasi yang sudah ada.
“Tidak semua usulan bisa kita teruskan. Kita tetap harus menyesuaikan dengan ruang lingkup kewenangan, kebutuhan yang mendesak, dan yang tak kalah penting: anggaran. Karena pembahasan satu ranperda itu butuh biaya dan waktu yang tidak sedikit,” tegas Jejeng.
Beberapa ranperda inisiatif yang masih dikaji di antaranya menyentuh isu strategis seperti perpustakaan, kesehatan masyarakat, dan lingkungan hidup. Untuk menjamin substansi yang kuat, Bapemperda mewajibkan seluruh usulan ranperda disertai naskah akademik. Dokumen ini biasanya disusun oleh tim akademisi independen yang mengkaji aspek legal, sosial, dan ekonominya.
“Kami pastikan semua usulan punya dasar akademik yang kuat. Karena perda yang baik bukan hanya dari ide yang bagus, tapi juga harus bisa dijalankan dan tidak bertabrakan dengan aturan di atasnya,” jelasnya.
Tak hanya itu, dalam setiap proses pembahasan, Bapemperda juga membuka ruang partisipasi publik. Misalnya saat membahas revisi Perda Nomor 1 Tahun 2024 tentang PDRT, Bapemperda mengundang sejumlah OPD seperti Dinas PMD, Dinas PU, dan Dinas Kesehatan untuk memastikan keterkaitan teknisnya.
Langkah ini dilakukan agar regulasi yang dihasilkan tidak berjalan di ruang hampa, melainkan mendapat dukungan dan input dari pihak pelaksana maupun masyarakat penerima dampaknya.
“Kami selalu kedepankan transparansi dan keterlibatan publik. Prinsipnya, perda harus menjawab persoalan masyarakat, bukan sekadar tulisan di lembaran daerah,” ujarnya.
Setiap ranperda yang sudah dinyatakan siap dan layak akan dikonsultasikan dengan Kanwil Kemenkumham Jawa Barat untuk harmonisasi awal. Setelah itu, masih ada tahapan konsultasi dengan Biro Hukum Pemerintah Provinsi Jawa Barat sebelum ranperda ditetapkan menjadi perda.
Mengenai durasi, Jejen menjelaskan bahwa ranperda yang merupakan revisi hanya punya waktu pembahasan enam bulan. Sedangkan ranperda baru bisa memakan waktu hingga satu tahun.
Di tengah keterbatasan anggaran dan dinamika politik lokal, Bapemperda tetap berupaya menjaga marwah regulasi daerah agar mampu menjadi pijakan yang kuat dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik.
“Tugas kami bukan sekadar menghasilkan perda. Tapi memastikan bahwa setiap perda hadir sebagai solusi, bukan beban baru. Kami ingin produk hukum daerah bisa benar-benar dirasakan manfaatnya oleh masyarakat,” pungkas Jejeng. (yna)