SUMATERA BARAT | Priangan.com – Tradisi merantau yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Minangkabau merupakan wujud konkret dari falsafah hidup yang mereka anut, yakni “alam takambang jadi guru.” Falsafah ini mengajarkan bahwa alam, dalam arti luas, adalah sumber pembelajaran yang tidak pernah habis.
Pengalaman hidup, yang merupakan bagian dari alam itu sendiri, menjadi guru yang mengajarkan cara hidup dan bertahan. Dari sinilah tradisi merantau lahir, sebuah perjalanan untuk mencari pengalaman baru yang kelak akan memperkaya hidup dan membawa manfaat bagi kampung halaman.
Bagi orang Minangkabau, merantau bukan sekadar peristiwa geografis, melainkan merupakan bagian dari identitas dan tanggung jawab sosial. Sejak zaman dahulu, tradisi ini menjadi semacam kewajiban bagi setiap pemuda yang mulai menginjak usia dewasa.
Dalam kearifan lokal mereka, merantau tidak dipandang sebagai pelarian, melainkan sebagai usaha untuk memperbaiki kehidupan diri sendiri dan kampung halaman. Ungkapan tradisional Minangkabau, seperti “Sayang jo anak dilacuik, Sayang jo kampuang ditinggakan, Ujan ameh di nagari urang, Ujan batu di nagari awak, Kampuang nan jauah dibantu juo,” menggambarkan bahwa meskipun jauh di perantauan, cinta terhadap anak dan kampung halaman tetap terjaga. Bahkan, perantau yang sukses nantinya akan kembali dengan membawa pengalaman dan hasil yang bermanfaat untuk kemajuan desa.
Salah satu aspek yang memperkaya makna merantau dalam masyarakat Minangkabau adalah sistem kekerabatan matrilineal. Dalam sistem ini, garis keturunan ditarik melalui ibu, dan perempuan memiliki kedudukan istimewa sebagai penjaga harta pusaka, seperti tanah dan rumah, yang diwariskan dari ibu kepada anak perempuan. Oleh karena itu, laki-laki Minangkabau, yang tidak mewarisi harta pusaka, dianjurkan untuk merantau guna mencari nafkah dan memperbaiki status sosial.
Gouzali Saydam, dalam tulisannya tentang sistem kekerabatan matrilineal, mengungkapkan bahwa meskipun laki-laki Minangkabau tidak mewarisi harta pusaka, mereka memiliki peran penting sebagai pengelola harta tersebut. Namun, keberhasilan dalam merantau menjadi penentu dalam menentukan status mereka di masyarakat. Mereka tidak boleh kembali ke kampung dengan tangan kosong, karena kegagalan akan dianggap sebagai aib.
Pada awalnya, merantau hanya dilakukan oleh laki-laki Minangkabau. Keamanan di tanah rantau yang lebih baik setelah kemerdekaan menyebabkan banyak perempuan Minangkabau ikut merantau. Selain mencari penghidupan yang lebih baik, mereka juga berusaha memperbaiki status sosial keluarga dan mengumpulkan pengalaman hidup yang berguna untuk membangun kampung halaman. Dalam hal ini, merantau menjadi bentuk perjalanan yang tidak hanya berkaitan dengan ekonomi, tetapi juga dengan pendidikan dan pencarian jati diri.
Filosofi merantau dalam masyarakat Minangkabau tidak hanya tercermin dalam kehidupan sehari-hari, tetapi juga dalam kesenian, seperti pantun-pantun Minangkabau. Seperti yang diungkapkan oleh Zulfikarni dan Siti Ainim Liusti, pantun-pantun Minangkabau mengandung ajaran-ajaran tentang pentingnya menjaga lisan dan berperilaku bijaksana di tanah rantau. Pepatah “dima bumi dipijak, di sinan langik di jujuang, bajalan di tapi-tapi, mandi di baruah-baruah” mengajarkan agar perantau bisa menyesuaikan diri dengan budaya dan adat istiadat setempat.
Pantun ini juga mengingatkan bahwa kata-kata memiliki kekuatan yang besar. Sebuah kesalahan dalam berkomunikasi dapat menimbulkan konflik yang merugikan, sehingga penting bagi orang Minangkabau untuk berbicara dengan hati-hati, terutama di perantauan, untuk menjaga hubungan baik dengan masyarakat setempat.
Tradisi merantau bagi masyarakat Minangkabau adalah sebuah perjalanan yang lebih dari sekadar mencari nafkah atau pengalaman. Ia adalah usaha untuk membangun kembali kampung halaman dan memperbaiki kehidupan diri sendiri dan keluarga. Dengan falsafah “alam takambang jadi guru”, masyarakat Minangkabau mengajarkan bahwa merantau adalah bagian dari proses belajar dari pengalaman hidup. Sebuah perjalanan yang tidak hanya mengandalkan kekuatan fisik, tetapi juga kebijaksanaan dan pemahaman akan budaya serta nilai-nilai luhur yang diwariskan dari nenek moyang. (mth)