JAKARTA | Priangan.com — Koalisi Demokratisasi dan Moderasi Ruang Digital Indonesia (Koalisi Damai) menyerukan agar pemerintah menunda pelaksanaan Sistem Administrasi Muatan (SAMAN) sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Kominfo Nomor 522 Tahun 2024. Mereka menilai, sistem ini berpotensi mengancam kebebasan berekspresi, kebebasan pers, dan hak publik untuk memperoleh informasi.
Sistem SAMAN, yang direncanakan mulai berjalan akhir Oktober 2025, akan mewajibkan platform media sosial seperti Facebook, X, Instagram, TikTok, dan YouTube menghapus konten dalam waktu 4 hingga 24 jam setelah menerima perintah pemerintah. Jika tidak, platform dapat dikenai denda hingga Rp500 juta per konten, bahkan pemblokiran penuh bila dianggap tidak patuh.
Koalisi Damai menilai, sistem ini berdiri di atas fondasi hukum yang bermasalah, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PP PSTE). Pasal 96 huruf (b) dalam peraturan itu memberi kewenangan kepada pemerintah untuk memutus akses terhadap konten yang dianggap “meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum.”
Menurut Koalisi, frasa tersebut sangat subjektif dan berpotensi digunakan untuk membungkam kritik yang sah terhadap pemerintah, laporan investigatif media, atau advokasi publik.
“Kalimat ‘meresahkan masyarakat’ terlalu lentur, bisa diartikan sesuka pemerintah. Padahal, kritik dan ekspresi politik yang tajam juga bisa dianggap meresahkan, padahal itu bagian dari demokrasi,” tulis Koalisi Damai dalam pernyataannya.
Mereka mencontohkan, sepanjang 2025 telah terjadi sejumlah penghapusan konten dan akun kritis di berbagai platform media sosial atas permintaan resmi pemerintah. Di antaranya, akun-akun yang membahas kekerasan seksual 1998, jurnalisme data, hingga laporan kritik terhadap industri tambang nikel. Situasi serupa juga terjadi selama gelombang demonstrasi pada Agustus–September lalu, ketika banyak unggahan dihapus tanpa penjelasan transparan.
Koalisi Damai menilai, pola ini menunjukkan kecenderungan pemerintah memperluas sensor digital tanpa mekanisme pengawasan independen.
“Kalau aturan karet seperti ini dibiarkan, ruang publik digital akan dikuasai oleh ketakutan. Warga akan berhenti berbicara karena khawatir dikategorikan ‘mengganggu ketertiban umum’,” tulis pernyataan itu.
Koalisi mendesak pemerintah untuk menunda pelaksanaan SAMAN hingga dilakukan revisi mendasar terhadap PP 71/2019 dan memperkuat akuntabilitas kebijakan moderasi konten. Salah satu tuntutan mereka adalah penghapusan frasa multitafsir dalam pasal 96 huruf (b), karena tidak memiliki parameter hukum yang jelas.
Selain itu, Koalisi meminta agar pemerintah membentuk panel ahli independen yang melibatkan masyarakat sipil, akademisi, dan pegiat kebebasan berekspresi untuk menilai aduan konten dan banding dari publik. Mekanisme ini dianggap penting untuk mencegah keputusan sepihak birokrasi dalam melakukan take down konten.
Mereka juga mendorong agar pemerintah memberi pengecualian eksplisit terhadap konten jurnalistik dan jurnalisme warga, agar kerja-kerja peliputan, riset, dan kritik sosial tidak dikriminalisasi di bawah alasan “mengganggu ketertiban umum.”
“Jurnalisme investigasi sering kali harus mengungkap fakta-fakta yang tidak menyenangkan bagi sebagian pihak. Tapi justru di situlah fungsi pers dalam demokrasi—mengawasi kekuasaan dan membuka kebenaran untuk publik,” tulis Koalisi.
Koalisi Damai juga menekankan pentingnya laporan transparansi publik terkait pelaksanaan SAMAN. Pemerintah, menurut mereka, wajib menyampaikan data jumlah dan alasan permintaan penghapusan konten kepada masyarakat secara berkala. Platform digital pun harus diwajibkan membuka laporan tindakan mereka terhadap permintaan pemerintah tersebut.
Langkah ini dianggap penting untuk membangun kepercayaan publik dan mencegah praktik sensor yang dilakukan secara tertutup.
“Perlindungan ruang digital yang aman tidak boleh mengorbankan kebebasan berekspresi. Pemerintah seharusnya memperkuat akuntabilitas, bukan memperluas sensor,” tegas pernyataan Koalisi Damai.
Koalisi menegaskan bahwa kebijakan digital seharusnya diarahkan pada pencegahan sistemik, bukan penindakan sewenang-wenang terhadap konten individual. Pemerintah perlu mewajibkan platform digital untuk melakukan asesmen risiko dan mekanisme pencegahan penyebaran konten ilegal, sambil tetap menjaga ruang berekspresi warga.
“Pendekatan strategis dan berbasis hak asasi manusia jauh lebih efektif dalam menata ruang digital daripada menutup-nutupi kritik,” tulis mereka.
Koalisi Damai beranggotakan 16 organisasi masyarakat sipil, di antaranya AJI Indonesia, AMSI, ELSAM, SAFEnet, Perludem, LP3ES, CSIS Indonesia, Wikimedia Indonesia, dan Mafindo. Mereka menutup pernyataannya dengan menyerukan agar pemerintah menunjukkan komitmen terhadap prinsip demokrasi dan kebebasan sipil yang dijamin oleh konstitusi.
“Menunda SAMAN dan merevisi PP 71/2019 bukan berarti anti-regulasi, tapi langkah penting untuk memastikan kebijakan digital Indonesia berpihak pada kebebasan, akuntabilitas, dan kemanusiaan,” pungkas Koalisi Damai. (yna)

















