Historia

Amir Syarifuddin; Sang Pejuang yang Mati di Tangan Bangsa Sendiri

Amir Syarifuddin | Net

MADIUN | Priangan.com – Namanya Amir Syarifuddin. Ia dikenang sebagai tokoh dua julukan. Sang pejuang, juga pengkhianat. Julukan itu tersemat karena berbagai alasan. Sepak terjang Amir semasa hidup jadi alasan. Di satu sisi berperan penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, sementara di sisi lain dicap sebagai pengkhianat bangsa buntut dari perjanjian Renville.

Lahir di Medan, 27 April 1907, Amir adalah seorang cendekiawan yang mendapatkan pendidikan Belanda. Berawal di ELS, lalu hijrah ke Leiden, Belanda meski tidak ia selesaikan karena masalah keluarga keluarga. Sejak saat itu, Amir kembali ke Indonesia dan menyelesaikan pendidikan hukumnya di Jakarta. Keaktifannya di dunia pergerakan menjadikannya salah satu tokoh muda yang disegani banyak pihak

Di awal perjuangan, Amir turut berperan dalam Kongres Pemuda II. Ia turut andil dalam melahirkan Sumpah Pemuda pada tahun 1928. Tak hanya itu, bersama rekan-rekannya, ia juga mendirikan Jong Batak dan terlibat dalam Partai Nasional Indonesia (PNI) serta Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo), yang menentang fasisme Jepang dan kolonialisme Belanda. Sosoknya yang dikenal tajam dan berprinsip membuat Amir diangkat menjadi Menteri Penerangan setelah Indonesia merdeka, lalu menjabat Menteri Pertahanan dan Wakil Perdana Menteri.

Namun, perjalanan Amir mengalami titik balik yang tajam setelah keterlibatannya dalam Perjanjian Renville pada Januari 1948. Sebagai pemimpin delegasi Indonesia, Amir menandatangani perjanjian yang di mata banyak orang Indonesia dianggap merugikan.

Kala itu, berdasarkan perjanjian tersebut, Indonesia hanya diakui berdaulat atas Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Sumatera. Sementara Belanda, berkuasa atas wilayah-wilayah lainnya. Keputusan ini tentu memicu kekecewaan mendalam di kalangan pejuang dan masyaraka. Mereka pun mulai menganggap Amir sebagai pengkhianat. Tekanan publik semakin meningkat setelah isu kedekatan Amir dengan Belanda terungkap, termasuk adanya dana dari Van der Plas yang diduga dipakai untuk kepentingan pribadinya.

Tonton Juga :  ELS, Pendidikan Elit Kolonial untuk Anak Bangsa Belanda di Hindia

Akibat kesepakatan itu, Indonesia kala itu sempat mengalami blokade ekonomi oleh Belanda. Mereka memutus aliran kebutuhan pokok dan persenjataan. Lantaran besarnya desakan rakyat, Presiden Soekarno pun akhirnya meminta Amir untuk mundur dari jabatannya. Sejak saat itu, Amir beralih menjadi oposisi Kabinet Hatta. Ia kemudian bergabung dengan Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang didominasi kelompok berhaluan kiri.

FDR semakin radikal setelah kedatangan Musso, salah satu pentolan PKI. Pada saat itu, FDR membentuk Politbiro PKI. Dalam hal ini, Amir kemudian ditempatkan di bagian pertahanan.

Pada September 1948, kelompok ini kemudian melancarkan aksi militer di Madiun. Mereka mendirikan Soviet Republik Indonesia. Namun, pemerintah Indonesia segera mengerahkan kekuatan militer untuk meredam pemberontakan ini. Setelah kekalahan berturut-turut dan kematian Musso, posisi Amir semakin terjepit.

Ia pun tertangkap pada November 1948 dalam keadaan lemah dan sakit di Grobogan. Di bawah penjagaan ketat, Amir dibawa ke Yogyakarta, lalu Solo, di mana eksekusi akhirnya dijatuhkan. Pada 19 Desember 1948, Amir dan sejumlah pengikutnya dieksekusi di Karanganyar. (ersuwa)

zvr
Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?
%d blogger menyukai ini: