TASIKMALAYA | Priangan.com – Di tengah hangatnya panggung debat Bupati dan Wakil Bupati pada Pemilihan Suara Ulang (PSU) Pilkada Tasikmalaya yang digelar Senin malam (14/4/25) di sebuah hotel kawasan Singaparna, sorotan tajam justru datang dari luar ruangan.
Seorang aktivis muda, Givan Alifia Muldan, tampil berbeda. Ia berdiri di atas air mancur, mengenakan daster dan kerudung, menyuarakan kritik terhadap salah satu calon yang diketahui menjalani praktik poligami.
“Perempuan harus dimuliakan, bukan diduakan,” ujar Givan dalam orasinya.
Penampilannya bukan tanpa makna. Ia sengaja memakai pakaian perempuan sebagai simbol protes terhadap budaya politik patriarkal yang menurutnya masih melekat dalam kontestasi pilkada.
Isu poligami yang menyeret salah satu calon bupati dinilai Givan bukan sekadar urusan pribadi, melainkan persoalan etika publik.
“Kami tolak calon yang nyandung. Ini soal beban moral dan sosial. Kalau dapurnya banyak, fokus dan tanggung jawabnya ke masyarakat bisa terpecah,” katanya.
Menurut Givan, meski secara agama poligami diperbolehkan, dari sudut pandang keadilan gender, hal itu menyisakan luka bagi banyak perempuan. Ia menilai, calon pemimpin harus memberi teladan dalam membangun relasi yang sehat dan setara.
“Kami ingin pemimpin yang bersih dari politik uang dan punya tanggung jawab moral. Jangan hanya jago visi-misi tapi di rumah tangga tidak bisa beri keadilan,” tambahnya.
Aksi itu sempat dicegah oleh petugas saat ia mencoba memasuki lokasi debat, namun Givan tetap melanjutkan orasi secara damai di luar hotel. Ia juga menyerukan kolaborasi antar warga sipil untuk mengawasi jalannya PSU agar bersih dan adil.
Di dalam ruangan, debat berlangsung lancar. Tiga pasangan calon, yakni Ai-Iip (03), Iwan-Dede (01), dan Cecep-Asep (02) saling menyampaikan gagasan dan menjawab pertanyaan. Namun di luar panggung, suara Givan menjadi pengingat bahwa integritas calon tak hanya dilihat dari pidato, tapi juga dari nilai yang mereka bawa dalam kehidupan pribadi. (yna)