PURWOREJO | Priangan.com – Jenderal Ahmad Yani dikenal sebagai salah satu tokoh penting dalam sejarah militer Indonesia pada masa awal kemerdekaan. Yani, sapaan akrabnya, lahir di Jenar, Purworejo, Jawa Tengah, pada 19 Juni 1922. Masa kecilnya dihabiskan berpindah-pindah mengikuti pekerjaan orang tuanya hingga akhirnya menetap di Batavia.
Di kota itu, Yani menempuh pendidikan dasar dan menengah lalu bergabung dalam pendidikan militer yang dibuka pada masa pendudukan Jepang. Pengalaman itu menjadi awal perjalanannya sebagai prajurit yang kelak memainkan peran besar dalam pembentukan Angkatan Darat Republik Indonesia.
Setelah proklamasi 1945, Yani aktif dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Ia terlibat dalam berbagai operasi di Jawa Tengah dan kemudian meniti karier di tubuh TNI.
Kepemimpinannya dinilai tegas dan disiplin. Dalam berbagai operasi, terutama penumpasan pemberontakan Darul Islam dan PRRI/Permesta, Yani menunjukkan ketegasan yang membuatnya mendapat kepercayaan dari Presiden Soekarno. Pada 23 Juni 1962, ia bakan diangkat menjadi Panglima Angkatan Darat, posisi strategis yang menempatkannya di tengah dinamika politik nasional pada masa itu.
Sebagai panglima, Ahmad Yani dikenal berpegang pada prinsip profesionalisme militer dan menolak campur tangan politik dalam tubuh angkatan bersenjata. Sikap tersebut membuatnya sering berseberangan dengan kelompok politik tertentu, terutama Partai Komunis Indonesia yang saat itu memiliki pengaruh besar.
Ketegangan antara Angkatan Darat dan PKI kala itu terus meningkat, terlebih ketika isu pembentukan “Angkatan Kelima” yang berisi buruh dan tani bersenjata mulai mencuat. Yani termasuk di antara pejabat yang menolak gagasan itu karena dinilai dapat mengancam stabilitas militer dan negara.
Pada malam 30 September 1965, situasi politik mencapai puncaknya. Kala itu, sekelompok pasukan yang mengatasnamakan diri Gerakan 30 September mendatangi rumah Jenderal Ahmad Yani di kawasan Menteng, Jakarta.
Mereka mengaku mendapat perintah untuk menjemputnya menghadap Presiden. Yani sempat menolak keluar dan berusaha menutup pintu, namun seketika terjadi letusan senjata. Ia tewas di tempat, kemudian jasadnya dibawa bersama enam perwira tinggi Angkatan Darat lainnya menuju kawasan Lubang Buaya, Jakarta Timur.
Jenazah Ahmad Yani ditemukan pada 4 Oktober 1965 setelah dilakukan pencarian oleh pihak militer. Ia kemudian dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata dan pada 5 Oktober 1965 pemerintah menganugerahkan gelar Pahlawan Revolusi sebagai bentuk penghormatan atas pengabdiannya.
Hingga kini, namanya diabadikan pada sejumlah fasilitas publik dan lembaga pendidikan militer, termasuk Museum Sasmitaloka Ahmad Yani yang menyimpan berbagai kenangan tentang perjalanan hidupnya. (wrd)

















