TASIKMALAYA | Priangan.com – Gelombang pro dan kontra terhadap rencana konser musisi Hindia di Kota Tasikmalaya terus menjadi perbincangan hangat publik, terutama di media sosial. Di tengah penolakan dari sebagian kelompok masyarakat dan ormas, sebuah riset sentimen publik yang dilakukan Gentra Data justru menunjukkan mayoritas warganet mendukung penuh konser tersebut.
Dalam analisis yang dirilis Jumat (11/07/2025), Gentra Data mencatat bahwa dari total responden yang berpartisipasi melalui kanal survei Instagram, 78 persen menyatakan setuju konser digelar, sementara 11 persen menolak, dan sisanya netral.
“Temuan ini memperlihatkan bahwa sebagian besar masyarakat, terutama generasi muda, memandang konser Hindia bukan sekadar pertunjukan musik, tetapi juga sebagai simbol kebebasan berekspresi dan momentum ekonomi kreatif,” ujar Hilmi Alawi, peneliti dari Gentra Data.
Hilmi menjelaskan, narasi yang berkembang dari kelompok pendukung konser didominasi oleh semangat keterbukaan, kritik terhadap konservatisme berlebihan, serta kekhawatiran akan citra Tasikmalaya yang dianggap tertutup terhadap seni dan budaya modern.
“Banyak komentar menyatakan bahwa Tasikmalaya perlu berubah dan mengikuti perkembangan zaman. Mereka merasa konser seperti ini bukan ancaman moral, tapi bentuk kemajuan kota. Bahkan beberapa menyebut, jika konser dibatalkan hanya karena tekanan kelompok tertentu, itu akan memperkuat stigma buruk terhadap daerah ini,” jelas Hilmi.
Tak hanya itu, beberapa pendukung konser juga mengaitkan kasus ini dengan praktik pungutan liar yang kabarnya sempat dialami penyelenggara acara di masa lalu. Mereka berharap aparat dan pemerintah lebih aktif mengawasi serta memastikan tidak ada tekanan non-formal yang mengganggu dunia kreatif.
Sementara itu, kelompok yang menolak konser Hindia membawa narasi yang berbeda. Mereka menyebut Hindia sebagai musisi yang tidak pantas tampil di Tasikmalaya, sebagian bahkan melontarkan tuduhan serius seperti ‘satanisme’ dan ‘liberalisasi moral’. Sebagian lainnya berargumen bahwa konser bertentangan dengan identitas Tasikmalaya sebagai kota santri.
Namun menurut Hilmi, data yang dihimpun menunjukkan kelompok penolak justru lebih kecil dan cenderung bersifat lokal serta tidak mewakili sentimen masyarakat secara umum.
“Wacana di media sosial memperlihatkan bahwa penolakan memang vokal, tetapi secara kuantitatif jauh lebih kecil. Ini menjadi catatan penting bagi pemangku kebijakan agar tidak mengambil keputusan hanya berdasarkan tekanan sepihak,” ungkapnya.
Meski belum ada pengumuman resmi dari pihak promotor, rencana konser Hindia dipastikan menjadi ujian tersendiri bagi ruang publik di Tasikmalaya. Kota yang dikenal religius ini kini menghadapi pertarungan wacana antara keterbukaan budaya dan konservatisme sosial.
Bagi sebagian kalangan, konser musik bukan sekadar hiburan, melainkan tanda bahwa Tasikmalaya siap berdialog dengan zaman, merangkul keberagaman ekspresi, sekaligus membuka peluang bagi ekonomi kreatif untuk tumbuh lebih luas.
“Data ini adalah cerminan aspirasi generasi muda yang ingin ruang seni yang inklusif, sehat, dan tidak dibayang-bayangi stigma negatif,” pungkas Hilmi. (yna)