NEW YORK | Priangan.com – Ternyata, sejarah Hari Buruh di Amerika Serikat tidak lahir dari keputusan pemerintah, melainkan dari langkah kaki ribuan pekerja di jalanan New York City pada 5 September 1882. Pada hari itu, untuk pertama kalinya para buruh meninggalkan pekerjaannya, rela kehilangan upah sehari, demi ikut serta dalam sebuah parade besar yang kelak dikenang sebagai Labor Day pertama. Mereka membawa spanduk, memainkan musik, dan berbaris dengan penuh semangat.
Kehidupan buruh pada masa itu sangat berat. Mayoritas pekerja harus bekerja enam hari seminggu, dengan jam kerja mencapai sepuluh hingga dua belas jam per hari. Tidak ada hari libur berbayar, tidak ada cuti sakit, bahkan keselamatan di tempat kerja sering diabaikan. Anak-anak pun banyak yang ikut bekerja dengan upah sangat rendah.
Dalam kondisi seperti itu, dua kelompok besar, Knights of Labor dan Tailors’ Union, sepakat bergabung dan membentuk Central Labor Union (CLU) pada Januari 1882. Mereka membawa tuntutan yang sekarang terdengar wajar: delapan jam kerja sehari, penghapusan pekerja anak, dan upah yang lebih adil. CLU pula yang kemudian mencetuskan ide adanya satu hari khusus setiap tahun untuk merayakan peran pekerja. Ide itulah yang diwujudkan dalam parade perdana.
Sebagaimana dilansir dari NASA Earth Observatory, parade dimulai dari City Hall Park di Manhattan. Sekelompok perajin perhiasan dari Newark memimpin barisan sambil menyanyikan lagu When I First Put This Uniform On, karya Gilbert dan Sullivan. Dari barisan kecil itu, iring-iringan segera membesar. Tukang cetak, pembuat sepatu, pembuat cerutu, pembuat tapal kuda, tukang cat rumah, tukang batu bata, pembuat piano, hingga para tipografer ikut bergabung. Menurut laporan media, jumlah mereka mencapai 10.000 hingga 20.000 orang.
Suasananya meriah. Spanduk-spanduk besar diangkat tinggi dengan slogan lantang, seperti “Tanpa Monopoli Uang” atau “Buruh Membangun Republik Ini dan Buruh Akan Memerintahnya.” Panitia bahkan melarang konsumsi alkohol agar parade tetap tertib. Sepanjang rute yang membentang dari Broadway menuju Union Square Park, warga berdesakan di jendela-jendela gedung, bersorak, dan melambaikan sapu tangan.
Arak-arakan berlanjut hingga Reservoir Square yang kini dikenal sebagai Bryant Park dan berakhir di Elm Park. Di sana ribuan orang menikmati piknik, mendengarkan musik Irlandia dan lagu-lagu Bavaria, serta menyimak pidato para pemimpin buruh. Bendera Irlandia, Jerman, Prancis, dan Amerika berkibar berdampingan, menunjukkan bahwa perjuangan buruh melintasi batas etnis dan asal-usul.
Meski parade itu begitu meriah, kisah tentang gagasan Labor Day masih menyimpan perdebatan. Ada yang menyebut Matthew Maguire, seorang masinis sekaligus sekretaris CLU, sebagai pengusul pertama. Namun ada pula yang mengaitkan ide itu dengan Peter J. McGuire, pendiri Federasi Buruh Amerika, pada tahun yang sama. Hingga kini, versi-versi tersebut tidak pernah benar-benar dipastikan, meski nama Matthew Maguire lebih sering dikaitkan dengan lahirnya perayaan itu.
Tradisi parade buruh kemudian menyebar ke berbagai kota. Beberapa negara bagian mulai menetapkan hari ini sebagai libur resmi, dengan Oregon sebagai yang pertama pada 1887, disusul New York, New Jersey, Massachusetts, dan Colorado.
Namun, pengakuan dari pemerintah pusat baru datang setelah peristiwa tragis. Pada 1894, Pemogokan Pullman di Chicago, sebuah aksi besar buruh kereta api berakhir ricuh dan menewaskan puluhan orang. Situasi ini membuat Kongres terdesak mencari cara untuk meredakan ketegangan nasional. Dalam kondisi penuh tekanan, Presiden Grover Cleveland akhirnya menandatangani undang-undang yang menetapkan Labor Day sebagai hari libur nasional.
Sejak saat itu, Hari Buruh menjadi bagian dari kalender resmi Amerika. Serikat buruh terus memperjuangkan hak-hak baru yang kini kita kenal sebagai standar: delapan jam kerja sehari, upah minimum, asuransi kesehatan, dana pensiun, hingga hak berunding bersama. Namun seiring waktu, makna awal hari itu perlahan bergeser. Bagi banyak orang, Labor Day kini lebih identik dengan libur panjang akhir musim panas dengan barbeku, konser musik, atau liburan ke pantai.
Meski begitu, jejak sejarahnya tetap penting diingat. Hari Buruh bukan sekadar hari santai, melainkan simbol keberanian ribuan pekerja abad ke-19 yang berani turun ke jalan, kehilangan upah sehari, dan menyuarakan hak mereka. Dari parade di New York pada 1882 hingga pengakuan resmi pada 1894, Labor Day menjadi pengingat bahwa dunia kerja yang kita kenal sekarang lahir dari perjuangan kolektif, pengorbanan, dan solidaritas. (LSA)