TASIKMALAYA | Priangan.com – Ironi pendidikan kembali mencuat dari Kabupaten Tasikmalaya. Lebih dari 4.000 guru honorer madrasah swasta di daerah ini masih hidup dalam keterpurukan. Bayaran mereka jauh dari kata layak, bahkan ada yang hanya digaji Rp100 ribu per bulan meski sudah puluhan tahun mengabdi.
“Kami ini mendidik anak bangsa, tapi dianggap seperti tidak ada. Bayangkan, 20 tahun mengajar, tapi hanya digaji setara uang jajan,” ujar KH Atam Rustam MSi, Ketua Perkumpulan Guru Madrasah (PGM) Kabupaten Tasikmalaya, kepada wartawan, Rabu (1/10/2025).
Ratusan guru datang membawa satu tuntutan: pengakuan dan keberpihakan. Mereka menuntut insentif dari pemerintah daerah, serta peluang setara untuk diangkat menjadi ASN lewat jalur PPPK.
Namun, apa yang mereka dapat? Janji dan rekomendasi. DPRD memang menandatangani surat aspirasi untuk diteruskan ke pusat. Tapi bagi para guru, rekomendasi hanyalah secarik kertas, bukan kepastian hidup.
“Jangan hanya kasih tanda tangan lalu lepas tangan. Kami butuh tindakan nyata, bukan basa-basi politik,” tegas Eman, koordinator aksi.
Kondisi ini menampar logika keadilan. Guru madrasah negeri mendapat kesempatan diangkat PPPK, sementara guru swasta seolah dianaktirikan. Padahal, keduanya sama-sama berjuang di kelas, menanamkan ilmu dan karakter pada anak bangsa.
“Kalau terus seperti ini, pendidikan madrasah akan jalan di tempat. Kami bisa disebut bukan guru paruh waktu lagi, tapi guru paruh baya yang menua tanpa penghargaan,” sindir seorang guru senior.
Ketua DPRD Kabupaten Tasikmalaya, Budi Ahdiat, mengakui adanya ketimpangan ini. Ia menyatakan siap meneruskan aspirasi guru ke bupati dan DPR RI. Namun, pernyataan itu justru memantik kritik balik.
“Dulu ada perhatian, kenapa sekarang hilang? Apa artinya DPRD hanya jadi tukang pos? Guru madrasah butuh solusi, bukan sekadar janji,” tambah Budi.
Meski terus ditekan keadaan, para guru madrasah swasta tetap mengajar setiap hari. Mereka masuk kelas dengan senyum, meski di baliknya tersimpan luka panjang akibat ketidakadilan negara. (yna)