BRUSSEL | Priangan.com – Perebutan Brussel oleh pasukan Jerman menjadi salah satu babak penting dalam pekan-pekan awal Perang Dunia I. Pada 20 Agustus 1914, pasukan Jerman memasuki ibu kota Belgia tanpa pertempuran besar, setelah sebelumnya melewati jalur panjang yang dipenuhi rintangan di wilayah timur negeri itu. Keputusan Berlin untuk menerobos Belgia lahir dari strategi melebar ke Prancis melalui jalur utara, meski negeri itu sebenarnya berstatus netral. Penolakan Brussel atas ultimatum Jerman pada awal Agustus membuka jalan bagi invasi sekaligus menyeret Inggris ke dalam perang.
Sebelum kedatangan pasukan musuh, pemerintahan Belgia memindahkan sebagian besar kekuatan militernya ke Antwerpen. Garde Civique yang semula bersiap membangun barikade di kota akhirnya menghentikan perlawanan, menyusul dorongan para diplomat asing agar pertumpahan darah di pusat pemerintahan dihindari. Ketika kolom Jerman memasuki kota, mereka mendapati Brussel dalam keadaan ditinggalkan unsur pertahanan lokal.
Operasi merebut ibu kota dipimpin Armeeoberkommando 1 di bawah Jenderal Alexander von Kluck. Unit ini menjadi ujung tombak serangan sayap kanan Jerman yang diarahkan menuju Prancis. Setelah menduduki Brussel, pergerakan pasukan dilanjutkan ke arah Mons dan kemudian ke Marne. Meski berhasil mengambil alih ibu kota, langkah ini sempat tertunda oleh perlawanan gigih di Liège. Benteng-benteng yang mengawal Sungai Meuse menahan laju Jerman hampir dua pekan, memaksa mereka menggunakan artileri berat dan operasi pengepungan. Penundaan itu memberi waktu berharga bagi Sekutu untuk memperkuat barisan di Front Barat.
Bagi warga sipil, pendudukan segera membawa aturan ketat. Otoritas militer Jerman memberlakukan kontribusi perang dan mengatur kehidupan kota dengan disiplin tinggi. Pola ini kemudian menjadi ciri umum pendudukan Jerman di Belgia hingga perang berakhir pada 1918.
Secara militer, jatuhnya Brussel membuka jalur operasi menuju Prancis. Namun momentum itu tidak bertahan lama. Di Marne pada awal September, serangan sayap kanan Jerman berhasil dipatahkan dan perang berubah menjadi pertempuran parit yang berkepanjangan. Peristiwa 20 Agustus 1914 dikenang sebagai hari jatuhnya ibu kota Belgia tanpa perlawanan berarti, namun juga menjadi pengingat bahwa strategi kilat sebuah invasi tidak selalu menjamin keberhasilan akhir. (wrd)