JAKARTA | Priangan.com – Tanggal 16 Agustus menjadi salah satu tanggal yang bersejarah bagi masyarakat Indonesia. Pada hari itu, suasana di Jakarta tengah berada di titik krusial. Jepang baru saja menyerah kepada Sekutu, kekosongan kekuasaan ini menciptakan momentum yang sangat dinanti-nanti, yaitu kemerdekaan Indonesia. Namun, di tengah euforia dan ketegangan tersebut, muncul perbedaan pandangan antara dua kelompok yang sama-sama menginginkan kemerdekaan.
Pada saat itu, sejumlah pemuda yang tergabung dalam kelompok Menteng 31 merasa bahwa kemerdekaan harus segera diproklamasikan. Mereka tidak ingin momen penting ini ditunda, apalagi jika harus melalui lembaga bentukan Jepang seperti PPKI. Sementara di sisi lain, Soekarno dan Hatta, yang dikenal sebagai golongan tua, memilih cara berbeda dan terkesan lebih hati-hati. Bagi mereka, proklamasi tidak bisa dilakukan secara tergesa-gesa, melainkan harus mempertimbangkan berbagai risiko politik dan keamanan.
Ketegangan inilah yang memicu peristiwa yang kemudian dikenal sebagai Peristiwa Rengasdengklok. Pada dini hari, sekitar pukul 03.00 WIB, Soekarno dan Hatta dibawa keluar dari Jakarta menuju sebuah kota kecil di Karawang, Rengasdengklok. Mereka diantar oleh sejumlah pemuda, salah satunya Slodanco Singgih yanag merupakan Komandan PETA. Mereka membawa Soekano dan Hatta menggunakan mobil dengan penyamaran berupa seragam militer PETA agar tidak menarik perhatian pihak Jepang.
Di Rengasdengklok, mereka ditempatkan di rumah milik Djiaw Kie Siong. Di tempat inilah para pemuda berupaya meyakinkan kedua tokoh bangsa itu agar menyatakan kemerdekaan sesegera mungkin. Suasana tegang mewarnai perbincangan mereka. Soekarno dan Hatta menilai bahwa proklamasi sebaiknya dilakukan setelah kembali ke Jakarta dan melalui proses yang lebih terstruktur. Di sisi lain, para pemuda tidak ingin kehilangan momentum yang langka.
Meski sempat terjadi perdebatan, akhirnya dicapai kesepahaman bahwa proklamasi akan dilakukan tanpa campur tangan Jepang, namun tetap dilakukan setelah mereka kembali ke Jakarta. Kesepakatan ini menjadi titik temu antara dua generasi yang berbeda cara pandang, namun memiliki tujuan yang sama.
Sementara itu, di Jakarta, Ahmad Soebardjo dari golongan tua bertemu dengan para pemuda untuk mencari solusi atas ketegangan tersebut. Dari pertemuan itu, disepakati bahwa proklamasi memang harus segera dilakukan di Jakarta. Soebardjo kemudian berangkat ke Rengasdengklok untuk menjemput Soekarno dan Hatta. Ia datang bersama Yusuf Kunto dan Sudiro pada sore hari sekitar pukul 17.30 WIB. Dalam pertemuan itu, Ahmad Soebardjo memberikan jaminan bahwa proklamasi akan dilakukan pada 17 Agustus 1945. Ia bahkan bersedia mempertaruhkan nyawanya apabila proklamasi gagal dilakukan.
Rombongan pun kembali ke Jakarta malam harinya. Setelah kembali, naskah proklamasi mulai disusun. Mesin ketik yang digunakan untuk mengetik teks tersebut diketahui berasal dari kantor perwakilan Angkatan Laut Jerman. Proklamasi kemudian dibacakan pada keesokan harinya di kediaman Soekarno di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56. (wrd)